...aku mulai cerita ini dengan sejarah hidup
abangku, yang kini telah menjadi Bapak dari ponakanku. 34 tahun yang lalu 2
tahun setelah Galunggung meluberkan lahar panasnya, Tuhan menitipkan jasad suci
bernyawa pada ibuku. Tentu ibu bahagia, bersuka cita menyambut anak kedua
mereka. Karena ini anak lelaki pertama bagi mereka, aku dapat pastikan abangku
ini mendapatkan baju bayi baru yang bagus. Mana mungkin tega ibuku memakaikan
baju bekas mbakku dulu. Ada pihak yang kurang senang dengan kehadiran abangku
ini, siapa lagi kalau bukan mbak ayuku yang menjadi kakak di usianya yang baru
2 tahun. Jika saja dia sudah pintar berunjuk rasa, aku rasa ada ribuan sepanduk
terpampang dengan besarnya di setiap sudut rumah, menolak kelahiran abangku
ini.
“BESARKAN AKU DULU!!!”
“AKU TIDAK RELA DIGENDONG NENEK!!!”
…aku bukan termasuk perusak kebahagiaan orang
lain, karena aku lahir 7 tahun setelah abangku lahir. Tentu dia sudah besar, di
gendongpun sudah tidak mau. Tepatnya mamah sudah tidak mau menggendong abangku.
Tapi miris, aku sebelumnya tidak pernah direncanakan untuk dibuat, karena
dahulu mamah ikut program KB “ayudi”. Dari situ asal mula nama depanku.
…hari ini 18 April 2016 tepat abangku berusia
34 tahun. Jika kalian ingin tahu usiaku silahkan kurangkan 7 tahun. 34 tahun
bukanlah waktu yang pendek, mungkin dahulu abangku tidak pernah terpikir apa
yang akan terjadi di usianya yang ke 34. Banyak perjuangan, pengorbanan,
pertarungan dan segala jenis perdebatan manusia dengan Tuhan-Nya. Yang kesemua
tanda Tanya itu di jawab oleh waktu, dan angkuhnya sang waktu dia tidak pernah
mau di ulang. Kita harus bersyukur, atau mungkin kembali bertanya, kenapa hidup
begitu komplek. Begitu semberawut, ketika waktu tidak mau di putar ulang, Tuhan
menghadirkan penyesalan. Tetapi percuma menyesal, bukankah kita tahu bahwa
waktu tidak pernah bias diulang. Semoga segala bentuk penyesalan dapat di balas
dengan segala bentuk prestasi hidup.
…dan aku tidak pernah mau menyesal, jika Tuhan
titipkan kisah hidup yang bahagia, yang pahit, yang manis, yang asem, yang asin
dan yang rame rasanya. Bagiku itu adalah permen Nano-Nano. Dahulu saat aku
masih kecil ketika mbak dan abangku membeli permen ini, aku selalu takut
memakannya. Karena aku tidak tahu rasa apa yang pertama kali muncul di permen
itu. Kadang rasa pertama asin, kemudian manis, atau asem kemudian asin dan
manis. Seperti itulah hidup kita, Nano-Nano. Selalu yakin bahwa hidup adalah
kombinasi yang pas antara asem, pahit, manis dan asin. Permen itu mengajarkan
kita untuk selalu siap dengan rasa yang muncul tiba-tiba sampai permen itu
habis. Begitu juga hidup kita, jangan pernah egois selalu ingin meraskan manis,
dan jangan pula berpikir bahwa hidup kita akan selamanya asem. Aku, adalah
orang yang siap dengan ke-Nano-Nano-an hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
...mari saling berbagi, dan mengkoreksi...