Selasa, 29 April 2014

...si mata kayu, ibu...



Aku tegang luar biasa, tegang yang teramat. Karena semua dari garis keturunan abahku tidak pernah merasakan hal ini. Aku beruntung disatu sisi. Tapi bingung disisi – sisi lainnya. Tak ada yang bisa ditanya bagaimana, harus seperti apa, tidak ada keluarga yang bisa ikut sibuk mempersiapkan hari bersejarah itu. Tapi aku yakin, mamah merasakannya, beliau selalu bertanya dengan basa Sunda dan aksen yang khas.
“De lamun tos sidang teh teras kumaha?.”(Nak kalo sudah sidah terus ngapain?)
Aku tersenyum. “nya lulus, kantun wisuda!” (ya lulus, terus wisuda) 
“ooohh...alhamdulillah atuh, iraha sidangna?” (Alhamdulillah ya, kapan sidangnya?)
Aku tersenyum. “enjing. Matakna abdi nyetrika almamater.” (besok.makanya saya setrika almamater)
“jam sabaraha?. Isuk keneh?.mamah nyangu subuh atuhnya.” (jam berapa?. pagi banget?. mamah masak nasi subuh ya.)
Aku tersenyum “tenang we da abdi berangkat jam set 7 an.” (santai aja mah, saya berangkat jam 7 an)
Aku tahu mamah tak mengerti bagaimana itu sidang, seperti apa, bagaimana tegangnya, dan apa yang harus dipersiapkan. Yang beliau lakukan adalah mendo’akan yang terbaik, dan meyakinkan anaknya tidak kelaparan saat sidang. Dan itu membuat aku tahu arti ikhlas sebenarnya. Tidak perlu memaksakan yang tidak kita kuasai, lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, itu jauh lebih penting. 

Dan tadi pagi semua do’anya di kabul Alloh. Dia, Tuhan yang selalu mendengar keluh kesahku, dan do’a ibuku telah menyelamatkanku di samudera ilmu itu. Membuatku yakin pada ayat-ayat – Nya, meski aku sadar aku hanya hamba biasa yang tidak luput dari khilaf.

Aku anak ibuku yang besar dan di didik oleh keterbatasan akan finansial, mampu menyelesaikan Strata satu hanya dengan do’a dan restu beliau. Dan Dia Tuhan dari segala Tuhan, yang Maha mendengar Alloh SWT, dengan tangan halusnya menuntunku, dan selalu mendengar do’a ibuku disetiap ¾ malam, ketika aku yang ada di dalam do’anya terlelap tidur menikmati panjangnya malam. Dan para pahlawan kehidupan, sang perahu pembawa perahu, Abangku satu – satunya yang setiap pagi bercengkrama dengan nasib, tidak pernah letih memanen pundi – pundi rupiah yang sebagian dia beri untukku. Dan aku sang anak kumal yang dahulu dihina karena jidatku yang lebar, setiap pagi bergelut dengan buku dan hidup di aroma organisasi yang ganas. Mozaik hidupku. Indah.

Kamis, 24 April 2014

...selasa...



Kini setiap hari Selasa adalah hari terpenting dalam sejarah hidup kami, sang perahu penjelajah samudera ilmu. Karena di hari ini salah satu dari kami akan dinobatkan sebagai Sarjana Ekonomi,  sekelompok orang setiap minggu setiap hari selasa akan mencetak sejarah baru dalam hidup mereka. Termasuk aku, si perahu kayu yang sempat akan karam di samudera itu. Tapi kini aku telah bersandar di pelabuhan, pelabuhan yang luar biasa. Aku sedang mempersiapkan diri untuk turun dari perahu kayuku. Seminggu yang lalu teman baikku telah turun dari perahunya dan menjadi yang tercepat dan termuda. Dia adalah pembuka kunci pintu pertama yang berhasil mendapatkan dua huruf besar S dan E di belakang namanya. Dan aku bangga melihat itu. Tanpa halangan yang berarti dia berhasil menyelesaikan studynya. Dan dia baru 20 tahun. Dia lah Febri Lestari SE. Wanita rajin yang aku kenal.
Seharusnya hari ini sahabatku pun turun dari perahunya, dan mendapatkan dua huruf itu, namun malang cuaca pelabuhan sedang buruk sehingga kepala pelabuhan memutuskan untuk memundurkan jadwal menjadi minggu depan di hari yang sama tanggal 19 Februari 2013. Tanggal yang sama dimana aku akan turun dari perahuku. 

Tuesday, 19 Februari 2013 

Aku tegang luar biasa, tegang yang teramat. Karena semua dari garis keturunan abahku tidak pernah merasakan hal ini. Aku beruntung disatu sisi. Tapi bingung disisi – sisi lainnya. Tak ada yang bisa ditanya bagaimana, harus seperti apa, tidak ada keluarga yang bisa ikut sibuk mempersiapkan hari bersejarah itu. Tapi aku yakin, mamah merasakannya, beliau selalu bertanya dengan basa Sunda dan aksen yang khas.
“De lamun tos sidang teh teras kumaha?.”
Aku tersenyum. “nya lulus, kantun wisuda!”  
“ooohh...alhamdulillah atuh, iraha sidangna?”.
Aku tersenyum. “enjing. Matakna abdi nyetrika almamater.”
“jam sabaraha?. Isuk keneh?.mamah nyangu subuh atuhnya.”
Aku menangis dalam hati “tenang we da abdi berangkat jam set 7 an.”
Aku tahu mamah tak mengerti bagaimana itu sidang, seperti apa, bagaimana tegangnya, dan apa yang harus dipersiapkan. Yang beliau lakukan adalah mendo’akan yang terbaik, dan meyakinkan anaknya tidak kelaparan saat sidang. Dan itu membuat aku tahu arti ikhlas sebenarnya. Tidak perlu memaksakan yang tidak kita kuasai, lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, itu jauh lebih penting.
Dan tadi pagi semua do’anya di kabul Alloh. Dia, Tuhan yang selalu mendengar keluh kesahku, dan do’a ibuku telah menyelamatkanku di samudera ilmu itu. Membuatku yakin pada ayat-ayat – Nya, meski aku sadar aku hanya hamba biasa yang tidak luput dari khilaf.
Aku anak ibuku yang besar dan di didik oleh ketidak mampuan akan finansial, mampu menyelesaikan Strata satu hanya dengan do’a dan restu beliau. Dan Dia Tuhan dari segala Tuhan, yang Maha mendengar Alloh SWT, dengan tangan halusnya menuntunku, dan selalu mendengar do’a ibuku disetiap ¾ malam, ketika aku yang ada di dalam do’anya terlelap tidur menikmati panjangnya malam. Dan para pahlawan kehidupan, sang perahu pembawa perahu, Abangku satu – satunya yang setiap pagi bercengkrama dengan nasib, tidak pernah letih memanen pundi – pundi rupiah yang sebagian dia beri untukku. Dan aku sang anak kumal yang dahulu dihina karena jidatku yang lebar, setiap pagi bergelut dengan buku dan hidup di aroma organisasi yang ganas. Mozaik hidupku. Indah.