Hhhmmmm...aku
tidak sabar menunggu hari dimana aku di nobatkan sebagai sarjana, hari dimana
hasil penelitianku diujikan dan aku dikukuhkan telah selesai menempuh
pendidikan S1-ku. 3 tahun 4 bulan yang lalu aku masih bisa melihat diriku
berdiri di depan sebuah papan npengumuman hasil tes masuk perguruan tinggi itu.
Aku yang menggunakan pakaian seadanya. Hasil keringatku selama 9 bulan menjadi
buruh di salah satu perusahaan otomotif besar di Indonesia. Hasil menahan nafsu
untuk tidak membeli handphone keluaran terbaru seperti yang teman sekost-ku
beli. Menahan diri untuk tidak membeli baju dengan merk yang sedang booming
pada waktu itu. Atau menahan diri untuk tidak menggunakan gaji-gajiku untuk DP
motor yang aku inginkan. Aku tukar semua nafsu itu demi dua buah huruf S dan E
yang dari kecil sering aku mimpikan. Yang selalu hadir dalam setiap malamku,
dan malam-malam terakhir dalam masa kerjaku sebagai buruh kontrak. Dan akupun
tidak tahu akan ada berapa gunungan rupiah jika dua huruf itu telah aku
dapatkan.
Guru agamaku
dulu pernah menerangkan sebuah surat di Al-Qur’an yang artinya “Alloh akan
menikan beberapa derajat orang yang berilmu...”
Dan itu yang
membuat semangatku tidak pernah padam, semangat itu menjadi api yang melontar –
lontar ketika aku baca dalam surah Yassin “...kunfayakun”, ketika Alloh
kehendaki maka jadilah. Maka apa yang harus aku takutkan?, walaupun aku tidak
bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku saat itu benar – benar takut, aku
takut aku tidak bisa menuntaskan pendidikanku, karena biayanya yang tidak
sedikit.
Dengan begitu
yakin aku kembangkan layar pada perahuku, perahu yang akan mengarungi luas
samudra ilmu, yang aku sendiri tidak pernah tahu seluas apa, dan akan berlabuh
dimana. Perahuku terseok – seok, hampir karam. Hampir tenggelam. Bocor disana
sini, pahatan kayunya tidak kuat menabrak karang es, saat perahu yang lain
dengan gagahnya menghancurkan karang-karang itu, bahkan mampu meruntuhkan
gunung es sekalipun. Perahu kayuku yang malang ini harus dengan kuat menahan
gelombang. Menghantam badai, dan bahkan terombang-ambing tak tentu arah. Aku
punya niat yang baik, dan tentunya perahu-perahu yang lain tidak pernah menutup
mata, saat perahuku akan tenggelam, sebuah kayu yang kuat dari perahu lain
dilemparkan padaku. Dengan lantang orang di perahu itu berkata,
“Gunakan kayu
itu untuk menambalnya, kayu itu terlalu basah untuk di bakar diperapian
kamarku.”
Sungguh jika
kayu ini tidak berguna baginya, ini sangat bermanfaat untukku. Kemudian perahu
yang lain yang sama besar dengan perahu yang tadi melakukan hal yang sama,
mereka melemparkan kayu-kayu yang tidak mereka gunakan ke arahku. Aku dibuatnya
tersenyum, tersenyum bangga, bangga pada mereka,bintang - bintang yang kadang
tak ada yang tahu.
Perahuku mulai
berlayar kembali, meski penuh rasa was – was. Rasa takut yang semakin besar,
karena aku tahu akan ada banyak karang es yang lebih besar bahkan gunung gunung es yang mau tidak mau harus aku
robohkan. Tapi apakah kuat perahu kecilku ini?. Apa aku harus menghentikan
pelayaranku? Aku telah tertinggal jauh, jauh sekali. Persediaanku menipis,
bahkan sangat tipis. Aku harus mengorbankan moment-moment penting dalam
perlayaranku, pesta tengah laut, lomba memancing, bahkan aku sempat tidak
mengikuti ujian nahkoda sehingga nilaiku anjlok dari ujian sebelumnya.
Tapi sekali
lagi, niatku baik. Aku ingin mencetak sejarah di keluargaku, sebagai orang
pertama yang berhasil berlayar di tengah ganasnya samudera ilmu. Di tengah
luasnya samudera itu, tajamnya karang-karang es, dan tingginya gunung-gunung es
itu. Aku ingin jadi yang pertama. Aku ingin menjadi contoh bagi keturunan-keturunanku,
keturunan sodara-sodaraku kelak. Aku ingin derajat keluarga ini ditinggikan di
mata Alloh.
Maka ketika aku
tertinggal, aku mendengar suara mesin dikejauhan dari sebuah perahu. Masih
terbuat dari kayu, kayu yang sama seperti perahuku. Tapi perahu itu telah
memiliki mesin, dan ukurannya lebih besar, garis-garis urat di kayunya, dan
kerutan-kerutan dikeningnya menandakan betapa pengalaman hidup telah ia lalui.
Dahulu ketika perahu itu tidak bermesin, dia sempat ingin berlayar dengan
perahunya di samudera yang sama. Samudera yang sedang aku jelajahi, tapi dia
urung. Atau mungkin dia takut, atau mungkin dia was-was, atau mungkin dia tahu,
bahwa ada aku yang harus dia antar sampai muara ilmu. Perahu itu dahulu hanya
berhasil berlayar sampai muara.
Aku terdiam
sejanak, mencoba mendengarkan dengan seksama suara perahu itu, apa benar
dirinya. Aku lihat kebelakang, aku mencoba menerawang, tapi sayang kabut
terlalu tebal untuk aku melihat dengan jelas. Hingga akhirnya moncong perahunya
mendekati perahuku. Ternyata benar, itu adalah suara mesin perahunya. Mesin
yang tua, tetapi begitu kuat. Dahulu kayu – kayu untuk membuat perahuku di
derek oleh perahu bermesin itu, di derek dari hulu ke hilir, hingga aku sampai
di muara.
“apa gerangan
yang membuatmu datang padaku?” tanyaku padanya.
“kita ini
saudara, aku mendengar kabar burung, perahu yang kau buat dari hasil keringatmu
itu hampir karam karena tak kuat menghadang karang es. Bagaimana kau ini,
karang es saja tak becus kau hancurkan, apalagi gunung es?.mau mati membeku
kau?” jawabnya ketus.
Aku terdiam.
Tertunduk malu.
Aku diam bukan
karena ku tak sanggup menjawab. Tapi aku sadar bahwa aku tak becus.
“sekarang kemana
perahu yang lain?.kau tertinggal. Kau ini berlayar hanya mengandalkan layar dan
arah angin, tak tampakkah olehmu, mereka berlayar dengan menggunakan mesin?.
Tak tampak kah olehmu perahu mereka terbuat dari baja yang kuat?. Mereka tak
hanya mampu menghancurkan karang, gunung es bagi mereka tak lebih dari tumpukan
jerami.” Dia mendakwaku.
Aku terdiam, bahkan
hampir membeku.
“kembalilah ke
muara, dan mulai menanam pohon agar kau bisa membuat perahu yang lebih besar
kelak. Ayo aku derek perahumu sampai ke muara.” Lanjutnya padaku.
Aku terdiam, dan
mundur satu langkah dari tempat aku berdiri di perahuku.
“tidak!!”
“kau ini keras
kepala, mau mati membeku disini?.mengorbankan masa depanmu pada samudera yang
tidak beradab ini?.kita orang biasa yang tidak mampu membuat perahu dari baja,
yang tidak mampu membeli mesin dengan kecepatan tenaga kuda, bukalah matamu.”
Lanjutnya semakin membuatku yakin, bahwa aku bisa.
“kita bisa!!!.
Asal kita mau berusaha.” Aku bersikukuh.
“aahhh...sudahlah.
percuma aku peduli padamu. Kau tetaplah kau yang keras kepala. Mati saja kau
membeku di samudera ini.” Dia menghidupkan mesin perahunya,
Aku menitikan
air mata di atas perahuku yang telah terisi air laut hampir seperempatnya, dan
sekarang bertambah banyak dengan air mataku. “kunfayakun” hatiku berbisik.
Luasnya langit
seluas samudera ini, dan aku yakin ada banyak orang yang mati di samudera ini,
hanya karena perahu mereka tak cukup kuat dan besar untuk mengalahkan ganasnya
sang samudera ilmu. Dan aku tidak sudi
jadi bagian dari mereka.
Perahunya mulai
menjauh dari perahuku. Dia saudaraku meninggalkanku begitu saja. Meninggalkan
sodara lelakinya dalam keterpurukan.
Tak lama sebuah
perahu bermesin tak bernahkoda menabrak perahu kecilku. Aku terkaget, karena
tabrakannya membuat perahu kayuku retak dan air laut semakin deras masuk hendak
menenggelamkan perahu kecilku.
“PERGUNAKANLAH
PERAHU ITU BAIK-BAIK!!!, ITU ADALAH PERAHU KAYU YANG AKU BUAT DARI POHON YANG
AKU TANAM BERTAHUN-TAHUN, ADA PERBEKALAN DAN BERMESIN PULA. JIKA KAU SUDAH
BERLABUH KELAK, KABARILAH ABANGMU INI!!. DAN JANGAN LUPA BAWAKAN BIBIT TERBAIK
POHON KAYU SEBAGAI PENGGANTI POHON YANG AKU TEBANG UNTUK PERAHU ITU. HATI-HATI,
SAMUDERA LEBIH GANAS DARI MUARA!!!.AKU PERCAYA PADAMU!!”
Suara yang
lantang itu terdengar dari kejauhan, dan itu suara saudaraku yang tadi. Abangku
sendiri.
“TERIMAKASIH
BANG!!. KAU TAK SEKERAS YANG AKU LIHAT, TAK AKAN LUPA AKU PADA BIBIT YANG KAU
PESAN, AKAN AKU BAWAKAN BIBIT TERBAIK POHON KAYU YANG ADA DI DUNIA INI. ITU
JANJIKU!!!”
Aku tahu, aku
tidak pernah sendiri, ada orang – orang kuat dibelakangku. Orang – orang yang
selalu ada, bahkan saat aku merasa sendiri. Keluargaku dan mereka yang sayang
padaku, akan selalu ada disini. Didalam hatiku.