Sabtu, 07 September 2013

...kayu PERTAMA perahu kayuku...

23 tahun silam, aku baru saja menghirup O2 yang katanya cuma senyawa itu yang bisa membuat manusia hidup. Aku si anak paling bontot dari 3 bersaudara memulai cerita hidupnya dari tanggal 29 Sepetember 1989 hari Jum’at pukul 03:05 dini hari. Aku adalah anak sang fajar, yang bersentuhan dengan embun tanggal 29 September ‘89. Aku adalah anak sang pemimpi yang terlahir tanpa seprai baru, tanpa baju baru, dan tanpa gendongan bayi baru. Semuanya bekas kakak-kakakku. Aku adalah anak sang pujangga yang karenanya aku menangis dengan nada yang begitu merdu. Aku adalah anak sang kaisar. Mulai memimpin perang saat pertama kali dilahirkan. Aku adalah anak pembawa perubahan yang karena egoku aku berhasil menyentuh emas tertinggi harapan keluarga. Aku adalah anak sang dewa,yang karenanya aku ditugaskan untuk menemukan sang dewi. Aku adalah aku, yang bajibaku dengan segala harapan. 23 tahun aku membuat sejarah, aku membuat cerita dan entah bagaimana akhirnya. Aku kumpulkan mozaik-mozaik kehidupan, yang entah akan menjadi seperti apa.
Sepeda kecil pertamaku. Sabun mandi kesukaanku. Shampoo, sikat, pasta, dan bedak kesukaanku. Pengalaman pertamaku naik komedi putar. Kesedihanku saat aku telat daftar TK favorit di kampungku. Baju lebaranku. Seragam sekolah dasar pertamaku. Buku pertamaku. Pensil, tas, sepatu, dasi merah, topi, dan sebuah semangat yang menggebu pertamaku. Teman sebangku pertamaku, guru pertamaku, tulisan pertamaku, dan sebuah sekolah dasar pertamaku, yang kini menjadi sekolah dasar pertamanya bagi keponakanku, dan bakal calon sekolah dasar bagi keponakanku berikutnya. Prestasi pertamaku, rangking pertama pertamaku. Dan jatuh cinta pertamaku. Cinta monyet pertamaku. Aku masih ingat semuanya. Aku masih ingat bayangan bahagia di mukaku saat pertama-pertamaku.

Rabu, 24 Juli 2013

elegi PERAHU KAYU

Hhhmmmm...aku tidak sabar menunggu hari dimana aku di nobatkan sebagai sarjana, hari dimana hasil penelitianku diujikan dan aku dikukuhkan telah selesai menempuh pendidikan S1-ku. 3 tahun 4 bulan yang lalu aku masih bisa melihat diriku berdiri di depan sebuah papan npengumuman hasil tes masuk perguruan tinggi itu. Aku yang menggunakan pakaian seadanya. Hasil keringatku selama 9 bulan menjadi buruh di salah satu perusahaan otomotif besar di Indonesia. Hasil menahan nafsu untuk tidak membeli handphone keluaran terbaru seperti yang teman sekost-ku beli. Menahan diri untuk tidak membeli baju dengan merk yang sedang booming pada waktu itu. Atau menahan diri untuk tidak menggunakan gaji-gajiku untuk DP motor yang aku inginkan. Aku tukar semua nafsu itu demi dua buah huruf S dan E yang dari kecil sering aku mimpikan. Yang selalu hadir dalam setiap malamku, dan malam-malam terakhir dalam masa kerjaku sebagai buruh kontrak. Dan akupun tidak tahu akan ada berapa gunungan rupiah jika dua huruf itu telah aku dapatkan.
Guru agamaku dulu pernah menerangkan sebuah surat di Al-Qur’an yang artinya “Alloh akan menikan beberapa derajat orang yang berilmu...”
Dan itu yang membuat semangatku tidak pernah padam, semangat itu menjadi api yang melontar – lontar ketika aku baca dalam surah Yassin “...kunfayakun”, ketika Alloh kehendaki maka jadilah. Maka apa yang harus aku takutkan?, walaupun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku saat itu benar – benar takut, aku takut aku tidak bisa menuntaskan pendidikanku, karena biayanya yang tidak sedikit.
Dengan begitu yakin aku kembangkan layar pada perahuku, perahu yang akan mengarungi luas samudra ilmu, yang aku sendiri tidak pernah tahu seluas apa, dan akan berlabuh dimana. Perahuku terseok – seok, hampir karam. Hampir tenggelam. Bocor disana sini, pahatan kayunya tidak kuat menabrak karang es, saat perahu yang lain dengan gagahnya menghancurkan karang-karang itu, bahkan mampu meruntuhkan gunung es sekalipun. Perahu kayuku yang malang ini harus dengan kuat menahan gelombang. Menghantam badai, dan bahkan terombang-ambing tak tentu arah. Aku punya niat yang baik, dan tentunya perahu-perahu yang lain tidak pernah menutup mata, saat perahuku akan tenggelam, sebuah kayu yang kuat dari perahu lain dilemparkan padaku. Dengan lantang orang di perahu itu berkata,
“Gunakan kayu itu untuk menambalnya, kayu itu terlalu basah untuk di bakar diperapian kamarku.”
Sungguh jika kayu ini tidak berguna baginya, ini sangat bermanfaat untukku. Kemudian perahu yang lain yang sama besar dengan perahu yang tadi melakukan hal yang sama, mereka melemparkan kayu-kayu yang tidak mereka gunakan ke arahku. Aku dibuatnya tersenyum, tersenyum bangga, bangga pada mereka,bintang - bintang yang kadang tak ada yang tahu.
Perahuku mulai berlayar kembali, meski penuh rasa was – was. Rasa takut yang semakin besar, karena aku tahu akan ada banyak karang es yang lebih besar bahkan gunung  gunung es yang mau tidak mau harus aku robohkan. Tapi apakah kuat perahu kecilku ini?. Apa aku harus menghentikan pelayaranku? Aku telah tertinggal jauh, jauh sekali. Persediaanku menipis, bahkan sangat tipis. Aku harus mengorbankan moment-moment penting dalam perlayaranku, pesta tengah laut, lomba memancing, bahkan aku sempat tidak mengikuti ujian nahkoda sehingga nilaiku anjlok dari ujian sebelumnya.
Tapi sekali lagi, niatku baik. Aku ingin mencetak sejarah di keluargaku, sebagai orang pertama yang berhasil berlayar di tengah ganasnya samudera ilmu. Di tengah luasnya samudera itu, tajamnya karang-karang es, dan tingginya gunung-gunung es itu. Aku ingin jadi yang pertama. Aku ingin menjadi contoh bagi keturunan-keturunanku, keturunan sodara-sodaraku kelak. Aku ingin derajat keluarga ini ditinggikan di mata Alloh.
Maka ketika aku tertinggal, aku mendengar suara mesin dikejauhan dari sebuah perahu. Masih terbuat dari kayu, kayu yang sama seperti perahuku. Tapi perahu itu telah memiliki mesin, dan ukurannya lebih besar, garis-garis urat di kayunya, dan kerutan-kerutan dikeningnya menandakan betapa pengalaman hidup telah ia lalui. Dahulu ketika perahu itu tidak bermesin, dia sempat ingin berlayar dengan perahunya di samudera yang sama. Samudera yang sedang aku jelajahi, tapi dia urung. Atau mungkin dia takut, atau mungkin dia was-was, atau mungkin dia tahu, bahwa ada aku yang harus dia antar sampai muara ilmu. Perahu itu dahulu hanya berhasil berlayar sampai muara.
Aku terdiam sejanak, mencoba mendengarkan dengan seksama suara perahu itu, apa benar dirinya. Aku lihat kebelakang, aku mencoba menerawang, tapi sayang kabut terlalu tebal untuk aku melihat dengan jelas. Hingga akhirnya moncong perahunya mendekati perahuku. Ternyata benar, itu adalah suara mesin perahunya. Mesin yang tua, tetapi begitu kuat. Dahulu kayu – kayu untuk membuat perahuku di derek oleh perahu bermesin itu, di derek dari hulu ke hilir, hingga aku sampai di muara.
“apa gerangan yang membuatmu datang padaku?” tanyaku padanya.
“kita ini saudara, aku mendengar kabar burung, perahu yang kau buat dari hasil keringatmu itu hampir karam karena tak kuat menghadang karang es. Bagaimana kau ini, karang es saja tak becus kau hancurkan, apalagi gunung es?.mau mati membeku kau?” jawabnya ketus.
Aku terdiam. Tertunduk malu.
Aku diam bukan karena ku tak sanggup menjawab. Tapi aku sadar bahwa aku tak becus.
“sekarang kemana perahu yang lain?.kau tertinggal. Kau ini berlayar hanya mengandalkan layar dan arah angin, tak tampakkah olehmu, mereka berlayar dengan menggunakan mesin?. Tak tampak kah olehmu perahu mereka terbuat dari baja yang kuat?. Mereka tak hanya mampu menghancurkan karang, gunung es bagi mereka tak lebih dari tumpukan jerami.” Dia mendakwaku.
Aku terdiam, bahkan hampir membeku.
“kembalilah ke muara, dan mulai menanam pohon agar kau bisa membuat perahu yang lebih besar kelak. Ayo aku derek perahumu sampai ke muara.” Lanjutnya padaku.
Aku terdiam, dan mundur satu langkah dari tempat aku berdiri di perahuku.
“tidak!!”
“kau ini keras kepala, mau mati membeku disini?.mengorbankan masa depanmu pada samudera yang tidak beradab ini?.kita orang biasa yang tidak mampu membuat perahu dari baja, yang tidak mampu membeli mesin dengan kecepatan tenaga kuda, bukalah matamu.” Lanjutnya semakin membuatku yakin, bahwa aku bisa.
“kita bisa!!!. Asal kita mau berusaha.” Aku bersikukuh.
“aahhh...sudahlah. percuma aku peduli padamu. Kau tetaplah kau yang keras kepala. Mati saja kau membeku di samudera ini.” Dia menghidupkan mesin perahunya,
Aku menitikan air mata di atas perahuku yang telah terisi air laut hampir seperempatnya, dan sekarang bertambah banyak dengan air mataku. “kunfayakun” hatiku berbisik.
Luasnya langit seluas samudera ini, dan aku yakin ada banyak orang yang mati di samudera ini, hanya karena perahu mereka tak cukup kuat dan besar untuk mengalahkan ganasnya sang samudera  ilmu. Dan aku tidak sudi jadi bagian dari mereka.
Perahunya mulai menjauh dari perahuku. Dia saudaraku meninggalkanku begitu saja. Meninggalkan sodara lelakinya dalam keterpurukan.
Tak lama sebuah perahu bermesin tak bernahkoda menabrak perahu kecilku. Aku terkaget, karena tabrakannya membuat perahu kayuku retak dan air laut semakin deras masuk hendak menenggelamkan perahu kecilku.
“PERGUNAKANLAH PERAHU ITU BAIK-BAIK!!!, ITU ADALAH PERAHU KAYU YANG AKU BUAT DARI POHON YANG AKU TANAM BERTAHUN-TAHUN, ADA PERBEKALAN DAN BERMESIN PULA. JIKA KAU SUDAH BERLABUH KELAK, KABARILAH ABANGMU INI!!. DAN JANGAN LUPA BAWAKAN BIBIT TERBAIK POHON KAYU SEBAGAI PENGGANTI POHON YANG AKU TEBANG UNTUK PERAHU ITU. HATI-HATI, SAMUDERA LEBIH GANAS DARI MUARA!!!.AKU PERCAYA PADAMU!!”
Suara yang lantang itu terdengar dari kejauhan, dan itu suara saudaraku yang tadi. Abangku sendiri.
“TERIMAKASIH BANG!!. KAU TAK SEKERAS YANG AKU LIHAT, TAK AKAN LUPA AKU PADA BIBIT YANG KAU PESAN, AKAN AKU BAWAKAN BIBIT TERBAIK POHON KAYU YANG ADA DI DUNIA INI. ITU JANJIKU!!!”
Aku tahu, aku tidak pernah sendiri, ada orang – orang kuat dibelakangku. Orang – orang yang selalu ada, bahkan saat aku merasa sendiri. Keluargaku dan mereka yang sayang padaku, akan selalu ada disini. Didalam hatiku.

PAGI YANG KERAMAT

Pagi yang keramat. Begitu aku menyimpulkan pagi ini. Mungkin berlebihan, tapi begitulah adanya. Tiga tahun silam aku hanya bagian dari keramaian ini, bahkan aku mengkritisi banyak hal dari  kejadian ini. Aku bilang pada diriku sendiri, tak tahukah mereka yang berjubah itu, jubah itu adalah butiran keringat sang tua yang menjadi renta. Jubah itu adalah percikan pengorbanan dan kerja keras sang renta yang mungkin besok lusa wafat. Tak tahukah bahwa keramaian ini adalah bagian dari harapan sang pengantar emas yang telah di tempa. Tidak berlebihan jika aku bilang yang berjubah itu adalah emas yang telah di tempa. Karena harusnya memang seperti itu.
Pagi yang keramat. Di pagi ini, aku bangun lebih awal. Tidak hanya aku, yang tidur di samping kamarku, yang tidur di samping kamar yang tidur disamping kamarku. Bahkan orang-orang yang tidur di atap yang berbeda di samping rumahku, bangun lebih awal di pagi yang keramat ini. Pagi yang keramat ini telah kami tunggu-tunggu. Berbulan – bulan abangku tak pulang kampung, hanya demi hari ini. Perempuan yang selalu ada di hatiku telah merindukan abangku sejak lama, terlebih pada cucu nya. Cucunya yang nakal tidak kepalang. Si kecil yang atraktif. Dan aku bangga memiliki bibit-bibit masa depan yang beragam. Ponakan – ponakanku yang unik.
Kembali pada pagi yang keramat, semuanya di pagi ini berkumpul. Abang kandungku, abang iparku, bahkan kakak tertua dari kedua orang tuaku. Semua berkumpul di rumahku pagi ini. Ya...pagi yang keramat. Ini benar-benar keramat, ini adalah pertama kalinya kedua orang tuaku duduk berdampingan menyaksikan aku yang memakai jubah hasil dari keringat mereka. Aku tidak bisa berkata – kata. Aku bahagia, bahagia yang terlalu.
“YUDI SEPTRIPRIYADI SUNARYA yudisium dengan PUJIAN”
Kalimat itu yang pertama kali orang tuaku tanyakan,
“apa itu artinya de?” aku tersenyum.
Mataku berlinang. Aku sadar bukan kalimat itu yang akan membuat kedua orang tuaku bangga, karena mereka tidak tahu sama sekali apa maksud dari kalimat itu. Dalam hati aku berkata, “Tuhan telah memuji kalian karena sanggup membesarkanku” Itu artinya.
Berbahagialah kalian yang memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan tinggi, karena aku saja yang orang tuaku tidak tahu arti kalimat itu sangat bahagia.
Dan lihatlah diri kalian, bukan atas dasar apa yang telah kalian capai, tapi apa yang membuat kalian bisa mencapai semua itu. Tuhan menitipkan aku pada mereka bukan tanpa alasan.

Minggu, 27 Januari 2013

pena dan kertas

...hmmm malam ini aku melihat ada 3 pemberitahuan dalam beranda akun FB-ku, hanya 3..sedikit dan itu biasa...
...kemudian aku melihat beranda, aku melihat status teman-teman Fb-ku yang online, di bawah status mereka ada semacam waktu yang menentukan kapan mereka meluncurkan status mereka, baru saja, beberapa menit yang lalu, 4 menit yang lalu, bahkan ada yang nyampe 10 jam yang lalu.
Aku tersenyum dibuatnya, manusia pada abad ini semakin gampang untuk dideteksi, lepas dari benar atau tidaknya status mereka. Hmmm...rindupun menjadi tak berarti, kangen yang mendalam menjadi luluh lantah karena tekhnologi. Setiap orang jadi kehilangan momen penting dalam bercinta, yaitu rindu. Tekhnologi mengajarkan kita untuk tidak sabar, untuk tidak setia,untuk membeberkan kesal pada semua orang.
Aku kangen ekspresi wajah seorang wanita yang menerima surat dari sang kekasih di perantauan seperti ekspresi kakaku dulu didalam kamarnya, dan ketika sang kekasih yang kini menjadi kakak iparku mendapat balasannya, wajah pejantannya hilang karena tertiup rindu.
Kerjanya, harinya semakin bersemangat, dan semakin melambat ketika angin mudik datang. Seminggu diperantauan serasa sebulan yang tak kunjung selesai ketika musim mudik datang. Begitu indah cinta bukan??, ketika rindupun hanyalah air mata dan kesabaran yang bisa menemani, dibaca beberapa kali surat itu seperti kita membaca pesan masuk di FB atau rangkaian BBM,atau SMS. Tapi jelas beda kawan, ketika kakak harus mengumpulkan lembaran lembaran lusuh surat dari sang kekasih, dikumpulkannya surat itu berwarna warni dan bermacam wangi. Indah, indah sekali menghiasi kotak kecil bekas kue lebaran milik mamah. Saban malam kakak lihat surat itu, diperhatikannya tulisan itu, coretan kecil disurat itu menjadi semacam kelucuan tersendiri. Senyum itu berbuah kesetiaan.
Setiap bulan dalam hidupnya, selalu di isi dengan penantian, seru melihatnya aku. Ingin aku baca lembaran-lembaran warna warni itu, tapi sayang aku belum bisa membaca. Dengan melihat rona wajah kakak saja aku senang, maka saban bulan pun menjadi penantianku, karena setiap bulan aku menyaksikan kisah romeo dan juliet yang bercumbu dengan rindu.
Kini semua penantian, rindu, dan kesetiaan terbayar dengan pantas, seorang anak laki-laki dan perempuan terlahir dari rahim kakaku. Lucu dan rupawan wajah mereka, itulah hasil surat menyurat kawan. Ingin aku memperlihatkan kisah cinta orang tua mereka lewat surat-surat itu. Itulah kisah yang tertuang dalam pena dan kertas.
Dahulu mengajarkan kita benar benar mandiri meski kekasih telah dimiliki, dahulu mengajarkan kita untuk tetap fokus pada mimpi, tapi sekarang, lihatlah kawan kesal sedikikt, lapor, saban jam, saban menit, lapor, ketika berangkat, pulang, lapor, malam hari, lapor, pagi lapor, siang, lapor, sore, lapor. Hmmm...jenuh pastinya, dan ketika menikah nanti, kegiatan sang kekasih sudah terbiasa diketahui, lalu disebelah mana kangen dan rindu itu terselip???
Dan bagaimana kita menyampaikan kisah cinta kita pada anak-anak kita???
Lewat pesan di FB??? Sepertinya tidak mungkin
Lewat rangkaian BBM??? Itupun mustahil
Lewat SMS di inbox handphone kita??? Dibatasi dengan jumlah pesan masuk.
Lalu pake apa???
Bagaimanapun juga sejarah tetap harus dicatat tak bisa hanya di simpan.