Aku tegang luar
biasa, tegang yang teramat. Karena semua dari garis keturunan abahku tidak
pernah merasakan hal ini. Aku beruntung disatu sisi. Tapi bingung disisi – sisi
lainnya. Tak ada yang bisa ditanya bagaimana, harus seperti apa, tidak ada
keluarga yang bisa ikut sibuk mempersiapkan hari bersejarah itu. Tapi aku
yakin, mamah merasakannya, beliau selalu bertanya dengan basa Sunda dan aksen
yang khas.
“De lamun tos
sidang teh teras kumaha?.”(Nak kalo sudah sidah terus ngapain?)
Aku tersenyum.
“nya lulus, kantun wisuda!” (ya lulus, terus wisuda)
“ooohh...alhamdulillah
atuh, iraha sidangna?” (Alhamdulillah ya, kapan sidangnya?)
Aku tersenyum.
“enjing. Matakna abdi nyetrika almamater.” (besok.makanya saya setrika almamater)
“jam sabaraha?.
Isuk keneh?.mamah nyangu subuh atuhnya.” (jam berapa?. pagi banget?. mamah masak nasi subuh ya.)
Aku tersenyum “tenang we da abdi berangkat jam set 7 an.” (santai aja mah, saya berangkat jam 7 an)
Aku tahu mamah
tak mengerti bagaimana itu sidang, seperti apa, bagaimana tegangnya, dan apa
yang harus dipersiapkan. Yang beliau lakukan adalah mendo’akan yang terbaik,
dan meyakinkan anaknya tidak kelaparan saat sidang. Dan itu membuat aku tahu
arti ikhlas sebenarnya. Tidak perlu memaksakan yang tidak kita kuasai, lakukan
yang terbaik yang bisa kita lakukan, itu jauh lebih penting.
Dan tadi pagi
semua do’anya di kabul Alloh. Dia, Tuhan yang selalu mendengar keluh kesahku,
dan do’a ibuku telah menyelamatkanku di samudera ilmu itu. Membuatku yakin pada
ayat-ayat – Nya, meski aku sadar aku hanya hamba biasa yang tidak luput dari
khilaf.
Aku anak ibuku
yang besar dan di didik oleh keterbatasan akan finansial, mampu menyelesaikan
Strata satu hanya dengan do’a dan restu beliau. Dan Dia Tuhan dari segala
Tuhan, yang Maha mendengar Alloh SWT, dengan tangan halusnya menuntunku, dan
selalu mendengar do’a ibuku disetiap ¾ malam, ketika aku yang ada di dalam
do’anya terlelap tidur menikmati panjangnya malam. Dan para pahlawan kehidupan,
sang perahu pembawa perahu, Abangku satu – satunya yang setiap pagi
bercengkrama dengan nasib, tidak pernah letih memanen pundi – pundi rupiah yang
sebagian dia beri untukku. Dan aku sang anak kumal yang dahulu dihina karena
jidatku yang lebar, setiap pagi bergelut dengan buku dan hidup di aroma
organisasi yang ganas. Mozaik hidupku. Indah.